Pemikiran Maria Ulfah Subadio dan Perjuangannya

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2018 menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam politik diakibatkan oleh adanya stereotipe, marginalisasi, subordinasi, dan double burden. Selain itu, catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada tahun 2018, juga menunjukkan partisipasi perempuan dalam parlemen ternilai masih rendah. Dengan adanya data-data tersebut, mengartikan bahwa setidaknya ada pengaruh kuat terhadap isu-isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan juga bagaimana Indonesia mampu dalam merespons masalah-masalah perempuan di Indonesia.

 

Polittalks, Sesi Pemaparan oleh Narasumber
Polittalks, Sesi Pemaparan oleh Narasumber

Hal tersebut dapat ditunjukkan bahwa masih banyaknya kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa terdapat 265 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, yang terdiri atas 76 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran penduduk mayoritas, 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 24 kebijakan terkait pemisahan ruang publik antara laki-laki dan perempuan, 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan dalam bergerak, pilihan pekerjaan dan perlindungan, serta kepastian hukum.

 

Gerakan TurunTangan

Gerakan TurunTangan berikhtiar untuk mendorong dan mengajak publik untuk kembali mengingat dan belajar lebih jauh terkait kontribusi perempuan dalam pergerakan kebangsaan yang progresif. TurunTangan menyadari bahwa kiprah, gerakan dan hasil pemikiran para perempuan Indonesia memiliki nilai yang berharga, begitu berdampak dan kita dapat belajar memaknai hal tersebut, serta tidak melupakannya. Gerakan perempuan Indonesia juga turut terlibat dan mampu menjadi bagian penting dalam perjuangan reformasi. Lebih dari itu, gerakan perempuan mampu membawa budaya politik baru yang berlandaskan pada etika kepedulian di tengah budaya politik yang maskulin.

 

Dengan adanya gerakan perempuan, juga terdapat hadirnya diskursus yang mampu menawarkan hal-hal kebaruan di tengah gejolak diskursus yang nirsubstansi dan penuh kegaduhan. Maria Ulfah Soebadio dikenal sebagai sosok Srikandi Indonesia yang progresif-aktif dalam memperjuangkan hak-hak dan ketidakadilan yang dirasakan perempuan saat masa penjajahan kolonial. Maria Ulfah juga merupakan menteri perempuan Indonesia dan sarjana hukum perempuan pertama. Polittalks yang kedua ini mengusung tema “Refleksi Pemikiran Maria Ulfah Subadio dalam Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan.”

 

Polittalks, Sesi Pemaparan oleh Narasumber
Polittalks, Sesi Pemaparan oleh Narasumber

“Dari zaman Ibu Maria Ulfah sudah banyak ketidakadilan terhadap perempuan, dari Ibu Maria Ulfah kita akan merefleksikan bagaimana, sih, Ibu Maria Ulfah memperjuangkan hak-hak perempuan. Ibu Maria Ulfah hidup dalam patriaki yang sangat kental,” ujar Daru dari Yayasan Jurnal Perempuan. Maria Ulfah perempuan Indonesia yang memperoleh gelar sarjana Hukum di Leiden Belanda serta turut berpartisipasi dalam perjanjian Linggarjati.

 

“Peran dan perjuangan Maria Ulfah Subadio adalah Guru Sekolah Menengah Muhammadiyah, Konferensi Perempuan Indonesia II 1935, Majelis Pertimbangan Departemen Kehakiman atau shikoku, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, serta turut berkontribusi dalam pembuatan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 27 tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia, di mana beliau dalam pasal tersebut menekankan kesetaraan. Dan menjadi Ketua Kongres Perempuan Indonesia,” ungkap Daru.

 

Saat ini, Hari Kongres Perempuan Indonesia diperingati sebagai Hari Ibu. “Kongres Perempuan Indonesia saat ini kita kenal dengan Hari Ibu. Meluruskan salah kaprah peringatan Hari Ibu. Lalu kenapa sih sekarang menjadi Hari Ibu? Pelanggengan itu muncul saat orde baru di mana perempuan didomestikasi,” imbuh Daru.

 

Langkah Generasi Muda

Prinsip dan pemikiran Ibu Maria Ulfah ini perlu kita pertahankan. Ibu Maria Ulfah berusaha untuk menjunjung kesetaraan, menuntut keadilan, mengutamakan pendidikan, serta antikolonialisme. Salah satu perjuangan Ibu Maria Ulfah adalah dalam masalah perkawinan. “Isu poligami sangat kuat pada waktu itu karena tidak ada pencatatan. Dan itulah yang diperjuangkan. Perdebatan yang terjadi adalah poligami sudah ada dalam  peraturan agama, sekali pun ada dalam peraturan agama tidak boleh disalahgunakan,” ujar Nur Janti selaku Jurnalis dan Penulis.

 

Prinsip serta perjuangan Ibu Maria Ulfah tentu saja belum selesai. Kita sebagai generasi muda, yang bisa kita lanjutkan salah satunya adalah dengan tidak mengobjektifikasi perempuan; pelatihan sadar gender; mengusulkan implementasi peraturan yang ramah perempuan untuk mengakomodasi kepentingan perempuan; melaporkan kalau kita melihat pelecehan seksual; dsb. “Kita bermasyarakat tanpa memandang gender. Harapannya kita sebagai generasi muda bisa melanjutkan perjuangan-perjuangan itu karena perjuangan kita belum selesai,” ungkap Nur Janti.