Salah Pilihan Jurusan, Do What You Love dan Love What You Do

Setiap melintasi STT TELKOM Bandung bahkan hanya sekedar membaca atau mendengar namanya disebut, kenangan itu selalu muncul. Sekolah yang pernah menjadi cita-cita begitu saya lulus SMA. Namun, asa itu pupus saat tengah mekar.

Dulu saya selalu menyalahkan orang tua karena tidak bisa melanjutkan sekolah di jurusan impian. Alasannya klasik, orang tua tak sanggup membiayai hidup dan uang kuliah selama menempuh gelar sarjana. Saat itu hitungan kasar Bapak untuk empat tahun butuh setidaknya Rp 50 juta. Belum lagi terbentang jarak ratusan kilometer dari asal saya di Klaten. Status perantau di kota besar kian memantapkan mereka tidak memberi izin.

Blangko pendaftaran PMDK yang saya sudah serahkan ke guru pembimbing saya tarik kembali. Guru kecewa. Walaupun saya bukan terpandai di sekolah tapi nilai saya cukup bagus untuk bersaing masuk perguruan tinggi lewat jalur khusus penelusuran minat dan kemampuan ini. Saya lebih kecewa dan tak berminat mengambil PMDK untuk jurusan lain yang ditawarkan.

Jadilah saya mengikuti SNMPTN jurusan IPA. Pilihan pertama yang saya ambil, jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM. Alasannya, sebagai “wong ndeso” saya belum pernah mendengar kata konservasi. Kok unik batin saya. Kebetulan juga yang mempunyai jurusan tersebut ketika saya lihat di daftar Perguruan Tinggi Negeri saat itu hanya UGM dan IPB.

Pilihan kedua jurusan Pendidikan Matematika, UNY. Alasannya, Bapak ingin anaknya menjadi guru. Kenapa matematika? Ya, karena waktu SD pernah diminta guru matematika untuk maju menerangkan di depan kelas dan pernah ikut lomba matematika.

Dengan kata lain, tanpa sadar saya telah menyerahkan masa depan hanya dengan insting. Tanpa pertimbangan matang.

Setelah dag dig dug kurang lebih sebulan, nama saya nyempil di antara ribuan orang yang dinyatakan lulus SNMPTN di koran. Saya diterima di Fakultas Kehutanan UGM.
Dengan jurusan kuliah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, saya menjalankan tanpa totalitas. IP semester pertama saya hanya 2,5. Padahal semester awal rata-rata yang dipelajari adalah mata kuliah umum pendalaman SMA seperti matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa, agama, dan mata kuliah pengantar. Umumnya mahasiswa memiliki IP bagus diawal karena masih semangat kecuali ada yang salah.

Sewaktu menyusun kartu rencana studi (KRS) untuk semester dua, dosen pembimbing akademik (DPA) bertindak semestinya. Bertanya ini itu termasuk kesulitan saya mengikuti kuliah. Beliaupun menanyakan apakah saya salah mengambil jurusan? Dari panjang lebarnya waktu itu, wejangan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah nilai masih menjadi tolak ukur pendidikan di Indonesia. Untuk bisa aman dan bersaing di dunia kerja, setidaknya harus memiliki minimal IPK standar yaitu 2,75 dan kalau mau lebih aman harus diatas 3.

Lain cerita saya, lain juga kisah tiga teman saya, si A, B, dan C. Si A sejak awal kuliah di kehutanan hanya sebagai batu loncatan karena tidak diterima di STAN. Si B diterima di kehutanan yang notabene adalah pilihan keduanya. Pilihan pertamanya adalah jurusan komputer. Si C, seperti si B hanya saja pilihan pertamanya jurusan kedokteran.

Di ujian tahun berikutnya Si A, B, dan C ikut ujian lagi. Hasilnya si A diterima di STAN dan meninggalkan kehutanan. Si B diterima di Jurusan Komputer walau tidak di UGM dan sayonara dengan saya. Si C tidak diterima lagi di kedokteran. Hasilnya ia masih setengah hati kuliah. Tahun berikutnya, C mengulang kembali SNMPTN di kesempatan terakhirnya. Ia gagal lagi dan mau tak mau melanjutkan jurusan yang dipilihnya di kehutanan. Konsekuensinya, ia banyak mengulang mata kuliah dan sering kuliah dengan adik angkatan sehingga lulus tidak tepat waktu.

Kedua teman saya si A dan B, sejak awal sudah mengetahui minatnya, mereka berani mengambil resiko meninggalkan kehutanan dan kembali memilih jurusan yang diminatinya do what you love. Saya sendiri karena tidak bisa memilih jurusan seperti keinginan akhirnya mengambil opsi love what you do. Teman saya Si C, karena banyak berspekulasi akhirnya rugi waktu.

Mencintai Pilihan Jurusan

Dalam buku Young on Top, 35 Kunci Sukses di Usia Muda, Billy Boen menulis waktu terbaik untuk menentukan karier adalah sebelum memilih jurusan kuliah. Caranya dengan memulai “begin with the end mind” seperti teori Stephen R Covey penulis buku The 7 Habits of Highly Effective People. Yaitu menanyakan pada diri sendiri, mau jadi apa nanti? Sehingga bisa memilih jurusan yang sesuai untuk mendapatkan karier yang diinginkan.

“Waktu yang terbaik untuk menentukan kariermu adalah sebelum kamu memilih jurusaan saat kuliah.” – Young on Top

Dari kisah saya dan tiga teman saya di atas, setelah lulus Si A langsung ikatan dinas, Si B setelah tiga kali ikut tes CPNS akhirnya menjadi ASN di daerah dengan ilmu sesuai kuliahnya, saya sendiri setelah lulus bekerja memulai perjalanan karier di perusahaan perkayuan multinasional. Si C terakhir saya dengar, setelah lulus kuliah menikah dan ikut suaminya ke Jakarta.

Saya percaya keberuntungan mengikuti mereka yang berikhtiar dan berdoa. Mereka yang berusaha dan tetap fokus. Seperti kata Billy Boen, ketika saya dihadapkan pada pilihan love what you do karena sudah buntu untuk mengubah haluan seperti Si A dan B tidaklah gampang semudah memberi saran.
Di awal kuliah saya kehilangan tujuan dan fokus. Selain DPA, ada teman saya yang sangat berjasa membawa saya ke “jalan lurus”. Kala itu, dia berkata, “Bersyukur Rin, kamu bisa masuk UGM. Banyak yang ingin masuk UGM tapi tidak bisa contohnya aku. Jadi jangan sia-siakan.”

“Apabila kamu sudah mulai dapat bersyukur atas hal yang kamu miliki, otomatis kamu akan lebih menghargai yang kamu miliki.” – Young on Top

Ya, dengan bersyukur saya belajar mencintai jurusan yang saya pilih melalui insting. Be grateful juga merupakan kunci sukses yang harus dimiliki para YOTers. Saya pun kembali menetapkan tujuan dan menetapkan cita-cita, mau jadi apa setelah studi? Waktu itu, impian saya setelah lulus dari kehutanan adalah menjadi peneliti.

Mencintai sesuatu yang asing tidaklah gampang. Di antara langkah-langkah yang saya lakukan agar berhasil love what you do adalah:

1. Membuat target

Begitu “sadar”, target yang saya pasang adalah lulus tepat waktu dengan IPK minimal 3. Karena saya tidak ingin terlalu lama menjadi beban orang tua dan ingin segera bekerja. Mitos mahasiswa kehutanan adalah lulus lama. Sebab banyak mata kuliah dengan prasyarat dan tidak setiap semester ditawarkan. Sehingga terlambat mengambil mata kuliah akan mempengaruhi pengambilan mata kuliah lainnya yang menyebabkan mundur.

Karena semester awal saya sudah “jeblok”, pekerjaan saya lebih berat tapi bukan berarti tidak mungkin. Waktu itu saya berkata pada diri sendiri tidak boleh ada mata kuliah yang mengulang. Mengulang kuliah bisa menyebabkan rugi waktu dan biaya apalagi fakultas kehutanan tidak mengadakan semester pendek karena diisi kuliah lapangan. Karena itu hard studying saja tidak cukup tapi juga harus smart studying.

Hasilnya, semester kedua IPK saya berhasil di atas standar lebih sedikit yaitu 2,8. Saat lulus memiliki IPK lebih dari 3. Walau tak sampai cumlaude tapi saya bersyukur karena bisa lulus tepat waktu mengingat terseok diawal, aktif di luar kelas, dan bekerja part time.

Trik saya waktu itu adalah:

  • Mengenali selera dosen dengan cara selalu hadir di kuliah perdana. Sebaliknya karakter mahasiswa biasanya malas datang kuliah pertama. Saat tatap muka ini biasanya dosen akan memberi tahu rule kelasnya. Bagaimana dia menilai, apa melihat dari absen, tugas, bahkan ada yang memberi nilai A untuk mahasiswa yang hadir saat kuliah perdana, dll.
  • Mengamati bagaimana cara mengajarnya, ada yang suka point-point, ada yang suka ceramah, ada yang text book. Gaya ini akan sangat membantu mengerjakan soal saat ujian. Dosen yang suka ceramah akan lebih suka jawaban yang panjang. Dosen yang text book berarti harus memberikan jawaban sesuai bahan ajarnya, dll.
  • Saat mengikuti kuliah, saya berusaha sungguh-sungguh mendengarkan, mencatat point, dan memahami apa yang diajarkan. Tidak sekedar meminta soft copy materi. Biasanya justru dari penekanan saat di kelas akan menjadi soal ujian.

2. Bergabung di organisasi

Jika berkawan dengan pandai besi terciprat panasnya, jika berteman dengan penjual minyak wangi akan terkena wanginya. Bergabung di organisasi membuat saya tertular energi positif dan menempa soft skill sebagai penyeimbang hard skill yang diperoleh di kelas. Memilih organisasi pun saya tidak sembarangan atau mengikuti trend. Waktu itu saya tertarik dengan Forestry Study Club (FSC). Melalui FSC ini saya bergaul dengan orang-orang yang memiliki pandangan akan masa depan terutama terkait ilmu kehutanan.

Lewat FSC saya mengenal dunia kehutanan yang sesungguhnya tidak sekedar teori dalam kelas. Hutan kerap dilambangkan sebagai simbol keterbelakangan. Namun, ternyata isu kehutanan merupakan wacana internasional. Hutan lebih sekedar kumpulan pepohonan dan aneka satwa tapi ia bisa menyerap emisi, penghasil karbon dalam upaya meminimalisir dampak perubahan iklim dunia akibat pemanasan global.

Dari sering diskusi, rasa cinta saya terhadap jurusan mulai tumbuh. Benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sehingga untuk bisa menyayangi harus berkorban untuk mengenal lebih dalam. Dari FSC ini juga minat saya terhadap penelitian yang sudah ada sejak mengikuti ekstrakurikuler (Karya Ilmiah Remaja) KIR saat SMA berkembang kembali. Di organisasi ini saya kemudian dipercaya menjadi kepala bidang research and studies.

3. Mengikuti kompetisi

Boleh dibilang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan program bergengsi di kampus. Sebab mahasiswa seluruh Indonesia akan berlomba-lomba mengajukan proposal penelitian. Proposal yang lolos seleksi akan didanai Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Untuk bisa menulis proposal penelitian yang baik saya merelakan waktu libur untuk mengikuti short course riset, mengikuti seminar penelitian, yangmana disaat bersamaan kebanyakan teman lebih suka datang ke Sunday Morning (Sanmor) di Lembah UGM.

Tidak hanya itu, saya pun berani berbeda ketika mengambil mata kuliah. Saat itu saya mengambil mata kuliah metode penelitian di tingkat dua, sementara umumnya mata kuliah tersebut diambil menjelang skripsi. Waktu itu banyak teman seangkatan yang mencibir saya. Tapi saya mengambil mata kuliah bukan tanpa pertimbangan. DPA saya pun tidak melarang hanya saya harus membuktikan kalau saya bisa mengikuti. Dan, di akhir kuliah saya mendapat nilai A.

Ilmu di dalam dan luar kelas mengantarkan dua kali lolos PKM sebagai ketua. Dari PKM, saya belajar memanajemen tim, mempresentasikan gagasan di depan banyak orang, dan terjun langsung mengabdi di masyarakat. Secara tidak langsung “nilai jual” saya ikut bertambah.

Perpaduan transkrip nilai dan pengalaman selama di kampus membuat curriculum vitae (CV) menarik. CV sebagai cermin diri tidak hanya untuk melamar kerja tapi membantu saya mendapatkan tiga kali beasiswa selama kuliah.

“Kamulah yang mengontrol kesuksesan. Semua itu berawal dari DO what you love dan LOVE what you do. Pilihlah hal yang kamu cintai untuk kamu lakukan. Tetapi kalau kamu tidak berkesempatan untuk berbuat demikian, cintailah hal yang kamu lakukan.” – Young on Top

Mencintai jurusan telah membuka jalan diterima bekerja dengan posisi awal sebagai staf riset sesuai minat saya. Sebuah kebangaan saat sebagian besar teman angkatan masih skripsi, masih bingung mencari kerja, bahkan ada yang masih kuliah sedangkan saya sudah terbang ke Kalimantan.

Dengan mencintai apa yang kita lakukan, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi lebih baik. Prinsip ini tidak hanya berlaku saat kuliah tapi juga di dunia kerja.

“Ketika kamu melakukan sesuatu yang kamu cintai, passion hadir dalam diri. Passion adalah faktor X yang memberi kamu energi untuk berbuat lebih sehingga kamu tidak akan berhenti hanya karena ada rintangan.” – Young on Top

Apakah saya masih menyalahkan orang tua? Tidak. Apakah perjalanan karier saya sudah berakhir? Masih belum.

 

Keterangan:
Gambar dan quote diambil dari Buku Young On Top, 35 Kunci Sukses di Usia Muda karya Billy Boen diterbitkan oleh B First tahun 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published.