[SHORT STORY] Busuk Hati

BUSUK HATI

Oleh

Janika Sri Ayumi

 

 

“Kak! Kak, bangun!”

Sayup-sayup suara itu membuat mataku setengah terbuka. Suara adikku, si Indra, terdengar setengah berteriak dan panik. Mataku masih terlalu berat untuk terbuka sepenuhnya, sampai akhirnya Indra melompat ke kasurku dan menepuk pundakku.

“Kak, bangun kak. Om Danu meninggal kak!”

Dengan setengah sadar, aku mengira ini mimpi dan menoleh ke arah adikku.”Hah?”

Innalillahi wa innailaihi rajiun, telah berpulang ke rahmatullah-” pengumuman di masjid kala itu menjadi latar suara dari tangisan tanteku yang menggema di seluruh sudut rumahnya.

Dia duduk di samping jasad suaminya dengan badan yang bergetar dan tangis yang terisak-isak. Betapa pilunya hatiku ketika melihat pemandangan itu, mengingat Tante Kemala hanya tinggal berdua saja dengan Om Danu selama 10 tahun mereka menikah dan tanpa dikaruniai seorang anak.

Selama 5 tahun terakhir juga Om Danu terkena stroke sebelah badan, serta jantungnya yang kadang kala membengkak. Selama 5 tahun itu juga Tante Kemala merawatnya dengan penuh perhatian tanpa mengeluh sedikitpun walau usahanya berkali-kali harus gulung tikar demi menutupi biaya pengobatan suaminya.

Parahnya, selama ini aku tidak tahu, bahwa tanteku harus berhutang di bank demi pengobatan suaminya itu. Padahal yang kutahu, saudara-saudara dari om Danu hidupnya cukup “berlebih” dan mereka punya kehidupan yang layak. Ternyata mereka juga sangat jarang menjenguk Om Danu semenjak dia sakit. Menjenguk saja jarang, apalagi memberikan bantuan untuk pengobatannya. Bahkan, setiap ditelpon oleh Om Danu dan tanteku, mereka menjawab dengan ketus. “Mau apalagi? Sakit apalagi?!” Padahal Om Danu menelpon hanya untuk menanyakan kabar mereka saking jarangnya mereka bertemu dan berkomunikasi.

Aku tersentak ketika tanteku tiba-tiba berteriak. “Kenapa kamu kesini? Pergi sana!”

Seketika semua orang memandang ke arah tanteku yang sedang membentak seorang wanita dan laki-laki yang sudah terlihat berumur menangis didepannya. Mereka berdua kemudian terisak dan pergi ke arah dapur untuk menghindari tanteku.

Aku mendekati tanteku, menepuk-nepuk punggungnya perlahan, menenangkan. “Kenapa tante? Mereka siapa? ” tanyaku.

Tanteku menghela nafas di tengah isak tangisnya. “Mereka itu jahat. Mereka itu saudara dari Om Danu!”

Aku bahkan tidak mengenali mereka lagi saking lamanya kami tidak pernah bertemu. Terakhir mungkin, 9 tahun yang lalu?  Setahun setelah pernikahan Om Danu dan Tanteku. Itupun seingatku saat momen lebaran, selebihnya aku tidak pernah melihat mereka Padahal aku sering mampir kerumah tanteku untuk istirahat sebentar di jam kosong saat kuliah atau numpang sholat, sekalian mengobrol ringan dengan Om Danu.

Singkat cerita, setelah pemakaman hari itu, aku baru tahu lagi beberapa fakta yang cukup memilukan. Kukira, karakter antagonis paling parah hanya ada di sinetron pagi saja. Ternyata kebusukan hati dari saudara-saudara Om Danu itu mungkin menginspirasi karakter antagonis di cerita ini.

“Si Adi adalah kakak tertua, dan Nidya adalah kakak kedua dari Om Danu. Mereka jarang sekali menjenguk Om Danu, bahkan kalau kesini pun tidak pernah mau duduk 15 menit saja untuk mengobrol dengan kami. Alasannya sibuk lah, mau kesana kesini lah, masih banyak lagi. Ditelpon juga begitu, selalu angkuh dan sombong pada kami seolah-olah kami ini bermaksud ingin memeras uang mereka. Padahal aku tidak pernah sepeserpun mengemis pada mereka. Semua uang pengobatan Om Danu, aku yang menanggungnya. Mereka menyuruhku untuk menjual harta yang kupunya. Lalu waktu itu mereka menjual rumah warisan dari orangtua mereka, dan laku seharga 550 juta rupiah. Tapi kau tau, mereka membagi uang hasil penjualan itu ke Om Danu senilai 200 ribu saja. Bagaimana mungkin ada saudara yang pelit begitu? Mereka membeli 1 mobil baru dan beberapa kavling tanah dengan uang itu, tanpa sepengetahuan Om Danu.”

Selama ini, aku memang tidak pernah melihat tanteku mengeluh pada siapapun perihal mengurus suaminya. Aku menghela nafas dan terdiam, entah memang karena aku terlalu terkejut dengan kenyataan ini, atau aku sedang menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalanku pada kedua manusia itu.

Beberapa hari berlalu, hari ini tahlilan ke-7 untuk almarhum Om Danu. Aku dan keluargaku sibuk di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan dan minuman untuk orang-orang yang hadir mendoakan almarhum. Tidak ada sedikitpun inisiatif dari keluarga Om Danu untuk membantu kami, mereka hanya celingak celinguk dan duduk manis seperti bangsawan. Entah sudah berapa kali aku mengumpat dalam hati setiap melihat wajah mereka yang bengis itu. Sesaat sebelum tahlilan berakhir, tante Nidya datang sambil menyalami semua orang, kecuali aku yang langsung pura-pura sibuk menelpon entah siapa dan menyeruput segelas kopi di tanganku. Dia tersenyum ramah ke semua orang sambil berkata, “sorry terlambat ya, kita lama banget dapat ojek onlinenya,”

Loh, kok pake ojek? Mobil hasil jual harta warisan mana?

Apa aku terlihat jahat disini? Aku merasa wajar saja karena aku kesal dengan perbuatan mereka. Bayangkan bagaimana rasanya ketika kau di-zalimi oleh saudaramu sendiri sampai ajal menjemput?

Selang berapa lama, Om Adi serta anaknya menghampiri tante Nidya dengan wajah yang pucat, “Kak, mobil baru kita dicuri orang, rumah kita juga kebakaran kak!”

Tante Nidya yang sedang minum pun tersedak dan menyemburkan minumannya, “HAH?” Dengan frustasi, mereka buru-buru pamit pulang dari tahlilan itu. Aku sempat tercengang dan bingung.

Tapi kemudian aku mendengus. “Oh.. Mungkin itu akibat dari busuk hati.” Kalian menuai apa yang kalian tanam. Mungkin kalian bisa bebas berfoya-foya dengan harta yang kalian miliki dari merampas hak milik saudara kalian. Namun, ingatlah semua hanya titipan dan kita tidak tahu kapan sang Maha Kuasa ingin mengambilnya kembali.

Leave a Reply

Your email address will not be published.