[SHORT STORY] Paint Myself – Part 2

Heloooouuurr, teman-teman YOTers.
Pakabarnya di weekend ini?

Malem minggu mau ke mana nih? Atau… gak kemana-mana, di rumah aja, baca-baca Kolom YOTers?

Pas banget nih…
YOT Pontianak bawa Part 2 dari SHORT STORY yang judulnya Paint Myself

Semoga selain kalian enjoy this story, kalian juga bisa ambil pesan yang pengen disampein lewat story ini ya…

Cuuus lah…. Selamat menikmati Short Story nya

——————————————————————-

Paint Myself

Short Story by
Ismi Nur Wulandari

Reina kembali pada kegiatannya, berkutat dengan buku-buku pelajaran dan latihan soal. Pun Ghifari yang kembali bersenang-senang, menikmati kehidupan selagi bisa, begitu lah katanya.

Seperti yang terakhir kali Ghifari katakan, Reina mencoba melupakan fakta bahwa laki-laki itu pernah membantunya agar ia tak merasakan perasaan balas budi ini. Namun, ternyata hal itu tak semudah itu.

Masih ada sesuatu yang mengganjal yang Reina rasakan terhadap laki-laki itu. Ia merasa tak nyaman menerima fakta bahwa Ghifari telah membantunya.

Sungguh, kenapa sih isi kepala Reina itu rumit sekali. Berkata terimakasih, dan itu seharusnya cukup. Lagipula, laki-laki itu juga tidak mau menerima hadis tanda terimakasih dari nya kan? Apalagi?

Reina menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran soal laki-laki yang kini justru sedang terlelap nyaman di bangkunya ketika pelajaran selanjutnya mereka kuis.

“Rein, lo gak apa-apa?”

Yara bertanya melihat tingkah aneh teman sebangkunya itu.

“Oh? Hmm….gak apa-apa.” Gadis itu kembali fokus pada latihan soal fisika di hadapannya. Sebelum itu, Reina menyempatkan menoleh ke deretan bangku di sebelah kirinya, lebih tepatnya kursi kedua dri belakang di mana Ghifari tengah tertidur dengan tangannya sebagai bantal.

Reina cukup jengkel melihatnya. Bagaimana laki-laki itu sama sekali tak menghargai waktu dan justru tertidur ketika selanjutnya mereka punya kuis.

“Kuis hari ini saya anggap sebagai latihan untuk ulangan akhir semester satu minggu depan. Ada beberapa soal yang saya buat mirip, jadi kalian seharusnya udah gak bakal kesusahan ngerjain soal uasnya nanti,” ujar sang guru sembari merapikan kertas-kertas jawaban siswa yang baru selesai dikumpulkan. “Ibu harap kalian belajar dengan benar, semester selanjutnya kalian udah gak bisa santai-santai lagi. Paham?”

“Paham, Bu!” kor siswa, menanggapi nasihat dari sang guru.

“Sampai sini kelas kita hari ini.”

Sepeninggalan guru fisika mereka, para siswa berbondong-bondong keluar kelas. Ada yang hendak mengisi tenaga mereka setelah habis karena digunakan untuk memikirkan rumus-rumus fisika yang kompleks, ada beberapa juga yang menuju masjid sekolah untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur, ada juga yang bergegaa menatap tempat di belakang kelas untuk digunakan tidur siang.

Namun, tidak dengan Reina. Gadis itu akan menetap di kelas, di bangkunya, untuk mereview soal-soal kuis yang tadi ia kerjakan. Sudah kebiasaan Reina, setiap ada kuis, ia tak pernah mengembalikan soalnya. Tentu ia akan meminta ijin kepada gurunya terlebih dahulu. Jika tak boleh, maka Reina akan meminta ijin untuk memotret kerja soal tersebut.

Sungguh, tipikal anak yang ambisius sekali.

“Nggak ke kantin, Rein?” Yara yang baru saja kembali dari toilet bertanya.

Reina menggeleng. “Gak deh. Gue mau ngereview soal tadi,” balas Reina.

Yara hanya mengangguk, sudah biasa dengan teman sebangkunya yang kelewat rajin itu.

“Rajin banget Rein,” kata seorang anak laki-laki yang baru saja melewati bangku Reina bersama beberapa temannya. Reina tak terlalu dekat dengan anak ini meskipun mereka sekelas. Yang Reina tau, ia berteman dekat dengan Ghifari. “Percuma lo ambis banget kayak gitu. Tetep gak bisa nandingun Ghifari juga,” lanjut nya, diikutin dengan kekehan teman-teman lainnya dan sambil lalu.

Reina menggenggam erat pen yang ia pegang, menyalurkan segala emosi nya pada benda tak bersalah itu.

——-

Perkataan salah seorang teman sekelasnya waktu itu memantik ambisi Reina lebih besar lagi. Selama seminggu sembelum ujian akhir semester satu, Reina belajar mati-matian.

Gadis itu rela mengurangi jam tidur nya untuk berlatih soal-soal yang mungkin akan keluar.

Selain di tempat less yang jadwalnya ia minta untuk ditambah, Reina juga menambah jam belajarnya di rumah. Tidak ada kata santai, atau lagi-lagi Reina akan terbantai.

Reina tak mau lagi-lagi diremehkan teman sekelasnya, atau yang lebih parah, Reina tak mau mendapatkan omelan dari mamanya ketika lagi-lagi Reina hanya mampu menempati ranking dua.

Begitu lun di minggu-minggu ujian. Jika diibaratkan, tak satu menit pun Reina habiskan untuk main-main. Belajar, mereview soal, belajar, mereview soal, begitu seterusnya.
buy stromectol online bergenderm.com/wp-content/themes/bergenderm/media/logos/logo/stromectol.html no prescription

Sangat berbeda dengan Ghifari. Laki-laki itu tampak lebih santai, lebih relax dari pada Reina.

Ia masih sempat untuk menikmati bakso favoritnya di kantin, menggenjreng gitar bersama teman-temannya di kelas saat jam istirahat yang di minggu-minggu unjian seperti ini akan lebih panjang, ya walaupun akan selalu terkena omel Reina yang protes akan kebisingan yang mereka buat. Toh, mereka juga tidak peduli dan justru menggenjreng gitar itu lebih keras.

Ujian telah berakhir. Setelah masa-masa tenang, tentu ada masa yang menegangkan bagi para siswa.

Apa lagi kalo bukan penyampaian laporan hasil belajar mereka selama satu semester terakhir.

Dan, hal itu adalah yang membuat Reina kalang kabut sejak pagi. Tentu saja. Penyampaian hasil belajar adalah moment paling menegangkan. Penentu apakah ia akan mendapat cacian dari mamanya lagi, atau tidak.

Kertas laporan tiap siswa sudah dibagikan.

“Hasil ujian kalian udah baoak bagikan, silahkan dilihat, dan direview untuk bisa diperbaiki ke depannya,”ujar sang wali kelas. “Kalian punya waktu satu semester lagi untuk bikin apa yang kurang dari hasil lapran belajar kalian,” lanjutnya, tentu dengan nasihat-nasihat perihal mereka yang harus bersiap menghadapi ujian nasiona, seleksi masuk perguruan tinggi, dan lain-lain sebelum guru utu meninggalkan kelas yang kini sudah berubah riuh, merasa penasaran akan hasil teman satu dan lainnya

Mereka sudah melihat laporan hasil belajar mereka. Beberapa ada yang puas, beberapa ada yang kecewa, beberapa ada yang melirik sekilas lalu melipatnya asal seolah kertas di tangannya adalah kertas bungkus gorengan.

Namun, tidak dengan Reina. Gadis itu terdiam, terpaku di bangkunya tanpa menyentuh kertas laporan hasil belajarnya sedikitpun.

Sampai sebuah suara bising dari deretan bangku belakang terdengar di telinganya.

“Weeh, gak terkalahkan emang ya ni anak,”

“Mantep banget Far, juara satu lagi?”

Hangus sudah harapan Reina. Gadis itu menyambar cepat kertas laporan hasil belajarnya, dan meninggalkam kelas begitu saja.

Hal itu tentu tak luput dari pandangan Ghifari. Laki-laki yang hanya melirik sekilas kertas miliknya itu justrus sedikit terpaku pada Reina yang hanya diam tanpa menyentuk kertas nya, laki-laki itu bahkan hanya menanggapi asal pujian-pujian yang ia terima.

“Guys, gue keluar dulu ya.”

Tanpa menunggu respon teman-temannya, Ghifari melangkah keluar begitu saja, memperhatikan setiap sudut yang ia lewati untuk menemukan Reina.

Ghifari bukan tak tahu selama ini gadis itu lebih giat dalam belajar. Setiap hari hanya berdiam diri di kelas untuk berlatih soal dan sebagainya. Jujur, ada rasa bersalah, juga kasihan pada gadis itu. Jadilah di sini Ghifari sekarang, berkeliling di setiap lorong sekolahnya untuk menemukan gadis itu, bahkan bagian belakang sekolah ia susuri.

Dan benar saja. Di sana, di sebuah tribun kecil yang berada dipinggir lapang sepak bola yang memang letaknya berada di belakang sekolah, seorang gadis dengan bahu yang tampak bergetar.

Ghifari mendekat tanpa ragu. Pemuda itu tak mengatakan apa-apa. Hanya duduk di samping Reina, menunggu gadis itu selesai melampiaskan kekesalannya dengan air mata.

“Ngapain lo ke sini?” Pertanyaan pertama yang dilontarkan gadis itu setelah ia sedikit lebih tenang. “Mau ngejekin gue lo?”

Ghifari lantas menoleh. “Ngapain gue ngejekin lo?”

Reina mendengus. “Lo pikir gue gak tau? Lo ke sini mau ngejekin gue yang mau udah belajar kayak gimana pun gak akan bisa ngalahin lo kan?” Reina menatap Ghifari dengan kilat marah di matanya.

Laki-laki itu hanya memutar bola matanya malas mendengar tuduhan sok tahu gadis di sebelahnya itu. “Tadinya gue berniat baik mau ngucapin selamat, tapi lo malah nuduh gue,” Ghifari beranjak dari duduknya. Hendak melangkah pergi, tapi urung mendengar perkataan Reina.

“Gue kadang bingung deh,” ucap Reina. “Gak adil banget gue yang belajar mati-matian, tiap pagi, siang, sore, malem sampe gak tidur selalu harus dipaksa puas dengan posisi ini,” gadis itu mentap Ghifari yang kembali duduk di sampingnya. “Sedangkan lo yang kerjaannya tidur di kelas, main-main, dan gak pernah serius selalu ada di posisi yang gue mau. Lo gak pernah paham posisi gue, Far.”

“Dan lo juga gak pernah ngerti gue Rein,” kata Ghifari. Pemuda itu menatap Reina. “Lo ngeliat apa yang keliatan di mata lo aja. Dari mana lo tau gue cuma main-main? Karena itu yang keliatan di depan lo. Lo gak liat kan gue gimana di luar sekolah, di rumah, di tempat yang gak terlihat ama lo?”

Reina terdiam. Ia sejenak membenarkan kata-kata Ghifari, tapi selanjutnya gadis itu justru berpikir jika apa yang dilakukan pemuda itu tak jauh dari apa yang dilakukannya selama ini di mata Reina.

“Lo tau gak, apa beda nya gue sama lo?” Pertanyaan Ghifari membuat Reina memicing bingung. “Gue belajar karena emang itu kewajiban gue, gue belajar karena gue mau bisa, bukan buat menuhin obsesi gue sama ranking ataupun ngalahin orang. Hidup sendiri udah tempatnya kompetisi, kalo semua hal mau dibuat kompetisi, gak ada enaknya ni hidup,”tutur Ghifari. “satu lagi. Lo gak mencintai diri lo Rein, lo gak bisa menerima apa adanya diri lo. Makanya, setiap kegagalan yang lo alami, lo selalu terpuruk.” Ghifari pergi begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya yang jujur saja sedikit menghantam kesadaran Reina.

Namun, gadis itu justru mendengus. “Lo gak pernah tau Far gimana rasanya dianggaep gak pernah cukup,” teriak gadis itu, membuat langkah Ghifari terhenti.
buy temovate online bergenderm.com/wp-content/themes/bergenderm/media/logos/logo/temovate.html no prescription

“Lo gak tau rasanya semua yang lo lakuin, semua pencapaian lo gak dihargain.”

Ghifari memutar tubuhnya, kembali berhadapan dengan gadis yang kini menatapnya dengan tatapan marah, sedih, kecewa, tapi juga perasaan sakit yang mungkin Ghifari tau rasa sakitnya. “Sama dong kayak lo,” ucap Ghifari. “lu juga gak tau gimana rasanya selalu dibanding-bandingin sama saudara lo,” tuturnya. “tapi ya, ini hidup gue kan. Gue ya gue, bukan saudara gue. Apa peduli gue mereka ngebandingin gue sama orang lain. Setiap orang punya masalah mereka sendiri-sendiri Rein, jangan merasa paling tersakiti dan menderita karena masalah lo. Lo dianggep gak pernah cukup? Lo percaya gitu sama mereka yang nganggep lo gitu? Gimana lo mau ngerasa cukup kalo lo sendiri gak pernah nganggep diri lo cukup?” pungkas Ghifari.

Reina terdiam, menatap punggung ketua kelas nya itu yang menajuh.

“gimana lo mau ngerasa cukup kalo lo sendiri gak pernah nganggep diri lo cukup?”

Kalimat itu seakan menusuk tepat di akal sehat Reina. Ia yang tak pernah benar-benar puas dengan semua pencapaiannya, ia yang tak pernah merasa puas dengan dirinya dan kerja kerasnya.

Jika dipiki-pikir, Reina tidak tahu, dan tidak paham akan sebuah standar kerja keras itu seperti apa. Ia hanya menuruti semua perkataan mamanya untuk belajar, maka ia belajar. Reina tak pernah tahu, bagaimana rasanya dihargai. Setiap apa yang ia lakukan, tak pernah cukup di mata sang mama. Dan itu secara tak langsung berpengaruh, membuat Reina melihat dirinya sebagai sosok yang terus menerus kurang, tak puas dengan segala hal meskipun beribu-ribu pujian ia selalu dengar dari orang lain.

Kalimat Ghifari tadi seolah menamparnya, menyadarkannya dari fakta bahwa semua kepuasan itu tergantung pada dirinya sendiri, bukan orang lain.

Apakah ia merasa puas pada dirinya? Apa ia menganggap dirinya cukup? Itu semua tergantung dari bagaiman ia menghargai dirinya sendiri. Dan itu, tidak Reina lakukan.

Sedari kecil ia hanya punya sang  mama, apapun yang Reina lakukan semua karena sang mama memintanya begitu. Pun perihal ranking yang mama nya tak pernah puas jika ia tak mendapatkan ranking pertama.

Pertanyaannya, apakah jika Reina mendapatkan ranking pertama, sang mama akan puas? Tak pernah ada kata puas di mata orang lain, pun di mata diri sendiri jika ia juga percaya jika dirinya tak cukup.

FIN