Ramadhan, Bakwan, & Mas Arhan
Cerita Pendek Oleh Ismi Nur Wulandari
Disclaimer:
Cerita ini hanyalah sebuah karangan yang bertujuan untuk menghibur, Tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Apabila ada kesamaan nama, itu sepenuhnya sebuah ketidaksengajaan. Mohon kebijaksanaannya dalam membaca.
Ramadhan, Bakwan, dan Mas Arhan
Matahari sudah sejak tadi bergerak ke ufuk barat, bersiap untuk berganti shift menerangi bumi dengan bulan dan bintang. Pendar jingga nya membuat suasana terasa nyaman, ditambah suara murotal ayat-ayat suci Al-qur’an yang saling bersahutan di setiap mushola atau masjid di sekitar komplek.
“Sha!”
Teriakan seseorang dari dalam rumah terdengar nyaring, membuat kegiatan seorang gadis yang sibuk menyapu di teras rumah itu terganggu. “Apa bu?”
Seorang wanita paruh baya keluar, dengan mengenakan daster batik dan rambut digulung berantakan sembari membawa selembar uang dua ribu. “Kamu ngapain?” tanya wanita itu, tampak heran melihat anak gadisnya menyapu teras, tapi tak pernah berpindah posisi.
“Ibu gak liat Alisha lagi nyapu?” Gadis itu merespon sang Ibu, masih di posisi yang sama, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan komplek di depan rumah nya itu.
“Beli es batu di warung Mbak Jum sana!”
Gadis bernama Alisha tadi seketika menoleh. “Biasa juga bapak yang beli,” ucap gadis itu. “Alisha gak bisa. Lagi sibuk.”
Sang Ibu lantas menatap anak gadisnya itu dengan kesal. Sesaat kemudian, Alisha dapat merasakan panasnya pukulan sang Ibu di bokongnya.
“Aduh! Kok dipukul sih Bu?” gadis itu mengaduh
“Cuma disuruh beli es batu aja banyak alasan,” omel Bu Aisyah, sang ibu. “Sibuk? Sibuk apa kamu hah? Sibuk nungguin anak Pak Haji lewat kan?”
Sontak Alisha melotot. “Kok Ibu tau?”
“Kamu kira Ibu bodoh apa? Tiap deket waktu adzan kamu selalu pura-pura nyapu, kadang pura-pura nyiramin taneman, lain waktu nyapu halaman,” Bu Aisyah, membeberkan kelakuan aneh Alisha selama beberapa hari ini. “Kamu pikir Ibu percaya apa kamu yang pemalas tiba-tiba rajin begini.”
“Ya namanya juga usaha Bu,” ucapnya lagi, masih sambil mengusap-usap bokongnya yang panas karena pukulan tadi. “Emang Ibu gak mau punya mantu sholeh apa?”
“Ya mau,” ucap Bu Aisyah. “Tapi orang sholeh mana mau istri sholehot kayak kamu,” imbuh wanita itu yang kemudian merebut sapu dari tangan Alisha dan menyodorkan uang dua ribuan itu. “Udah sana, beli es batu. Keburu Buka entar.”
Dengan wajah sedikit cemberut, gadis itu melangkah keluar dari pelataran rumahnya. Bersamaan dengan itu, seorang pemuda hitam manis, dan mata runcing yang membuatnya tampak tajam seperti mata srigala itu mengayuh sepedanya dari arah yang sama, membuat Alisya tak menyadari senyum jail pemuda itu.
Ia segera mengayuh sepedanya, mempercepat laju roda-roda itu, hingga…………..
“Wooooyy!”
“AAAAANNN…ASTAGHFIRULLAH…….”
BYUUUR
“FAUUUZAAAANN AAA!!!!!!!!!!!!”
Pemuda bernama Fauzan itu segera mengerem laju roda sepedanya hingga membuat roda bagian belakangnya sedikit terangkat ketika melihat Alisha justru tercebur ke selokan, tepat di depan rumah Pak Haji, dan lebih parah lagi, tepat di depan anak Pak Haji yang di taksir Alisha, Arhan.
Pemuda dengan baju koko berwarna cream, sarung coklat, serta peci hitam yang baru saja membuka pagar rumah hendak ke surau di depan gang itu harus menghentikan langkahnya melihat kecelakaan lalu lintas komplek yang disengaja itu.
Sedangkan Alisha, gadis itu bangkit secara mandiri dari dalam selokan, tidak lupa ia menggumamkan makian untuk sang sahabat karena ia tadi tak sempat memaki, keburu matanya menangkap Arhan, dan membuatnya mengurungkan kebiasaannya mengucapkan kata-kata kotor itu secara otomatis. Keadaan gadis itu tentu tidak bisa di bilang baik-baik saja karena ia sekarang penuh dengan lumpur selokan, bau, dan berantakan, ditambah rasa malu yang tak tertahankan di depan sang pujaan hati.
“FAUZAN, GILA YA LO?” Omel Alisha.
“Gak sengaja Sha,” pemuda bernama Fauzan itu justru cengengesan, masih di atas sepedanya, mengisyaratkan Alisha untuk menjaga sikapnya. Ada Arhan di sana.
Persetan dengan Arhan sekarang, Alisha ingin sekali membalurkan seluruh lumpur selokan ini pada wajah dekil Fauzan sekarang.
Gadis itu menyapukan tangannya ke area kakinya yang terkena lumpur selokan. Dengan senyum jahil, ia melangkah mendekati Fauzan, membuat pemuda itu panik seketika bersiap hendak memutar sepedanya.
“Mohon maaf.”
Suara berat dan terdengar menenangkan itu seketika membuat langkah Alisha berhenti, dan Fauzan batal memutar sepadanya.
Arhan masih di sana, belum bergerak dari posisinya, bahkan belum menutup kembali pagar rumahnya. Wajahnya terilhat berseri, barangkali karena air wudhu yang selalu setia membasuh wajah itu.
Alisha seketika lupa dengan keadaannya, lupa dengan niatnya untuk mengotori wajah Fauzan.
“Udah mau maghrib, apa gak sebaiknya Alisha segera pulang membersihkan diri?” Pemuda itu mengingatkan ketika ia sadar bahwa dua orang di depannya itu akan memulai peperangan individu antar komplek.
Arhan mengenal mereka. Alisha, bungsu dari dua bersaudara, anak Pak Hamdan dan Bu Aisyah, tetangganya yang berjarak 6 rumah dari rumahnya. Dan Fauzan, anak tunggal Pak Ibnu dan Bu Rosinta, sahabat Abi nya yang tinggal di komplek sebelah.
Mereka berdua itu bisa di bilang sangat dekat. Namun dinamika hubungan pertemanan mereka seperti seekor anjing dan kucing, selalu diwarnai perdebatan dan pertengkaran.
“Tuh, bener tuh kata Mas Arhan,” imbuh Fauzan. Sebetulnya agar ia terselamatkan dari kekesalan Alisha.
Gadis itu justru melanjutkan langkahnya mendekati Fauzan. Pemuda itu sudah panik, tapi ia justru menerima selembar uang dua ribu dari Alisha.
“Ibu nyuruh gue beli es batu tadi.”
Setelah mengatakan itu, Alisha lantas memutar tubuhnya dan lari pulang. Ia seketika mengingat rasa malunya karena dilihat Arhan dengan keadaan seberantakan ini.
——————
Azan isya berkumandang. Tampak beberapa warga komplek berbondong-bondong untuk pergi ke surau, menunaikan ibadah sholat isya sekaligus sholat trawih. Begitu juga dengan Alisha.
Gadis itu bukan tak pernah pergi ke surau untuk trawih, hanya saja ia jarang sekali melakukannya semenjak ia masuk SMA. Entahlah, semuanya tiba-tiba saja berubah setiap tahunnya.
Dulu, ia dan beberapa teman-temannya, termasuk Fauzan rutin melaksanakan sholat trawih. Tidak hanya itu, selepasnya mereka pasti akan tinggal di surau untuk melantunkan ayat-ayat suci al-quran. Bergantian ayat demi ayat mereka baca. Tak jarang berebut untuk menentukan siapa yang akan membaca setelah teman lainnya yang sedang membaca.
Alisha bukan seseorang yang agamis, tapi ia terkadang merindukan moment-moment itu ketika Ramadhan.
“Wooy!!!”
Alisha terlonjak. Ketika ia baru saja menutup pagar rumahnya, Fauzan dan sepeda polygonnya muncul.
“Hobi bener lu gue liat ya ngagetin gue mulu!” omel Alisha.
“Iya dong. Siapa tau lo nyebur selokan lagi kayak kapan hari kan. Lucu tau, kayak tikus got.”
Alisha menyambit Fauzan dengan sajadah yang ia tadi sampirkan di bahu. “Sinting lo!” hardi gadis itu. “Gara-gara lo gue gak lagi punya muka di depan Mar Arhan, tau gak lo?”
“Eh? Lo punya muka?” pemuda itu mengejek.
Gadis itu baru saja hendak menyambit Fauzan lagi, tapi pemuda itu sudah lebih dulu mengayuh sepedanya.
“Sha, lo tadarus lagi malem ini?” tanya Fauzan yang kini tengah mengayuh pelan sepedanya, sedang Alisha berjalan di sebelahnya, mengenakan mukena dengan sajadah yang ia sampirkan lagi ke bahu.
Gadis itu mengangguk.
“Gue juga deh.”
Alisha menoleh cepat, menatap pemuda di sampingnya dengan dahi berkerut, bingung.
“Atas dasar apa lo tiba-tiba tadarus?”
Fauzan menatap sang sahabat datar. “Pertanyaan lo kayak manusia gak beradab banget, bestie.”
“Kayak lo yang punya adab aja,” cibir Alisha. “jangan bilang lo tadarus lagi cuma buat ngincer bakwan takjil buat anak-anak tadarus kayak dulu lagi, yang sampe lo di marahi pak ustad gara-gara belom ngaji udah ngabisin lima bakwan.”
“Sok tau lo!” hardik Fauzan. “lagian, gue juga heran kenapa lo tahun ini rajin tadarus lagi. Padahal sebelum-sebelumnya lo jadi jarang tadarus gara-gara gak ada temen sebaya kita yang tadarusan lagi,” ujar pemuda itu. “Lo tadarus cuma karena Mas Irham ya?”
Alisha memicing, menolak opini Fauzan yang pemuda itu katakan. Namun, dalam hati gadis itu juga sedikit membenarkan.
Selain karena ia rindu dengan momen keseruan Ramadhan di tahun-tahun terdahulu meskipun tahun ini tak lagi sama, keberadaan sosok pemuda religius yang merupakan tetangga enam rumah dari rumahnya itu menjadi sebuah dorongan besar untuk gadis itu tadarus kembali selepas terawih. Padahal biasanya ia akan langsung pulang setelah sholat trawih selesai.
Walaupun bukan pribadi yang religius, Alisha paham, tindakannya itu tidak dibenarkan dalam ajaran agama yang di anutnya. Beribadah tentu niatnya karena Allah swt, bukan yang lainnya. Alisha tak ingin munafik, ia membenarkan jika dorongan itu hadir karena sosok Arhan yang menarik hatinya sejak dulu dan baru dilihatnya lagi setelah sekian lama pemuda itu mengenyam pendidikannya di Pondok pesantren di daerah Jawa Timur.
Kala itu Alisha tengah diminta sang ibu untuk menyapu halaman yang penuh daun rambutan kering yang berguguran. Di tengah kegiatannya, Alisha mencium wangi yang sangan menenangkan, seolah ia tengah mencium wangi surga, begitu pikirannya kala itu.
Saat ia mencari dari mana asal wangi yang memabukkan itu, saat itulah Alisha melihat Arhan melangkah dengan koko hitam, sarung batik senada dengan corak berwarna putih, dan peci hitam. Jangan lupakan wajah berseri pemuda itu lantaran air wudhu yang mungkin masih terjaga.
Di hari yang sama pula, Alisha tau jika Arhanlah yang kerap melantunkan ayat-ayat suci Al-quran hingga malam sehabis terawih. Sejak saat itulah Alisha kembali tadarus selepas sholat trawih.
Namun, berani bersumpah, Alisha sama sekali tak merasa terpaksa beribadah. Ia ikhlas melakukannya, justru suka karena ia bisa mengingat kembali momen-momen terdahulu, meskipun tak seratus persen sama. Terlepas dari niat awalnya karena Arhan, tak ada pemuda itu pun Alisha tetap tadarus.
“Ati-ati lu Sha, dipelet lu siapa tau,” cetus Fauza
“Lu atas dasar apa ngomong begitu, he?” gadis itu lagi-lagi menyambit Fauzan dengan sajadahnya. “sembarangan aja congor lu gue perhatiin.”
“Lah itu, lo bilang dia wangi.”
“Wangi parfum dia lah, Ojan.”
“Mana ada wangi parfum sampe ke teras rumah lo bisa kecium. Halaman rumah lo kan luas,” tutur Fauzan. “Minyak nyong-nyong kali tu.”
Alisha baru saja hendak menyambit Fauzan lagi, tapi pemuda itu sudah lebih dulu melaju bersama sepedanya. Bukanya menyambit Fauzan, sajadah itu justru terayun pada seseorang yang berjalan tak jauh di belakang Alisha.
Gadis itu sontak menoleh, dan terkejut mengetahui siapa yang barusan tak sengaja ia sambit dengan sajadah.
“Ini bentrokan individu antar kompleknya kok gak udah-udah ya?” ucap suara berat nan menenangkan itu sembari mengusap wajahnya yang terkena ujung sajadah Alisha ketika gadis itu hendak menyampirkan kembali sajadahnya ke bahu.
“Ya ampun, maaf Mas Arhan, Alisha gak sengaja.”
–
–
–
–
–
–
Finish