Travel, Agama, dan Spiritualitas. Mengapa Sangat Menarik?

Apakah ada kaitannya antara frekuensi traveling dengan kereligiusan seseorang?. So far, saya belum menemukan hasil penelitian atau artikel yang melaporkan apakah traveler menjadi lebih religius atau kurang religius setelah berkelana ke banyak tempat di muka bumi. Hanya saja, travelers yang saya temui sepanjang perjalanan keliling dunia selama beberapa tahun biasanya bilang, ” I am not religious “. Hmm, apa benar begitu?.

Seumur-umur, saya belum pernah menyaksikan orang menjadi lebih religius saat keliling dunia. Hampir semuanya bilang kalau mereka gak religius. Mereka biasanya beragama, hanya saja memutuskan untuk gak begitu terikat dengan agama lagi, not practicing, atau memilih menjadi agnostik (percaya adanya Tuhan tapi tidak terikat dengan satu agama tertentu). Orang – orang ini berasal dari bermacam ras, baik Kaukasia maupun Asia; gender; umur; dan jenis pekerjaan.

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah fenomena bahwa banyak traveler kulit putih/ Kaukasia yang menyatakan dirinya agnostik/ ateis tapi spiritual. Mereka bahkan sengaja traveling atau tinggal di Asia demi mempelajari Asian spirituality, salah satunya Buddhism. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Eropa dan Amerika semakin banyak yang tidak percaya dengan agama dan Tuhan. Christianity is in decline in both Europe and the US. Saat traveling ke Italia, teman Italia saya bilang kalau yang pergi ke gereja cuma orang-orang tua saja. “Apakah ini ada hubungannya dengan sejarah gereja yang kelam di Eropa?, Seperti reformasi Protestan dan lainnya ?”, tanya saya saat itu. “Gak kok, kita cuma udah gak percaya sama Tuhan”, jawab teman saya itu.

So, banyak dari white people yang kini memilih menjadi ateis atau agnostik karena alasan diatas. Satu reason lagi yang baru saja saya temukan adalah karena berkembangnya komunisme pasca Perang Dunia II. Hal ini misalnya terjadi di Republik Ceko, dimana penduduk negara Eropa Tengah ini mayoritas tidak berafiliasi secara agama. Lantas, apakah ada hal yang terasa berbeda saat tak memeluk agama atau menjadi seorang agnostik?. Seorang Prancis mengatakan ke saya kalau dia merasa empty, kosong dalam hidupnya. Meskipun batasan baik buruk bisa ditentukan dan dipelajari lewat standar moral, nilai-nilai sosial dan ilmu pengetahuan, tapi ia tetap merasa ada yang kosong di hidupnya.

Sepertinya karena alasan-alasan diatas maka mereka jadi tertarik dengan spirituality. Salah satu yang sedang naik daun banget adalah Buddhism. Seumur-umur ngobrol dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, belum pernah saya denger image buruk atau negatif dari Buddhism. Yang ada justru banyak yang excited belajar karena ingin menemukan inner peace, juga menganggapnya eksotis. Buddhism dianggap menarik bagi orang Barat karena ajarannya tidak bertentangan dengan western reason & logic. Mempelajari Buddhism juga tidak memerlukan keyakinan buta seperti halnya kalau belajar beberapa agama lain. Buddhism mengajarkan pengikutnya untuk tidak menerima mentah-mentah ajaran Buddha, tapi perlu dites sendiri. Misalnya saja, meditasi, perlu dicoba sendiri untuk merasakan langsung manfaatnya dan apakah meditasi works for them.

Oleh orang Barat, Buddhism kadangkala tidak dianggap sebagai sebuah ajaran agama namun sebagai filosofi. Meskipun di Asia sendiri ajaran Buddha memiliki banyak dewa, doktrin, ritual dan hal-hal lain yang biasanya diasosiasikan sebagai sebuah agama yang organized. Persepsi orang Amerika bahwa Buddhism adalah sebuah filosofi dibentuk pada World Parliament of Religions pada tahun 1893 di Chicago, AS. Para Buddhist masters mempresentasikan tradisi meditasi kepada Amerika sebagai sebuah filosofi praktis, bukan agama, dan persepsi itu bertahan hingga kini. Kenapa mereka sengaja memperkenalkannya sebagai sebuah filosofi?, soalnya mereka ingin membuat tradisi yang berumur 2500 tahun tetap relevan di mata dunia Barat yang moderen.

Sejak saat itulah, Barat menjadi tertarik dengan Buddhism, khususnya mengenai filosofinya, seni, dan meditasi. Pengemasannya sebagai sebuah tradisi yang rasional, non-theistic, tak memiliki kepercayaan yang irasional, serta tanpa ritual yang meaningless membuatnya semakin appealing to the western mind. Buddhism pun akhirnya dianggap sebagai ajaran yang universal dan bisa dipelajari oleh setiap orang. Siapa pun bisa mengembangkan spirituality-nya dan menjadi lebih positif, tak peduli pada gender, ras, dan orientasi seksual. Hal-hal ini membuat Buddhism dinilai cocok untuk zaman moderen yang beragam ini.

Selain karena merasa ‘kosong’ dalam hidupnya dan merasa haus akan spirituality, orang Barat menemukan solusi atas permasalahan hidupnya lewat Buddhism. Budaya di Barat yang serba cepat, highly competitive, materialistis, dan conformist membuat sebagian orang stres. Buddhism menawarkan keseimbangan dalam hidup, inner peace, dan cara untuk menjadi happy dan gak stres lewat ajarannya, salah satunya dengan teknik mindfulness. Tentunya mereka mempelajarinya gak cuma saat traveling atau tinggal di Asia, tapi juga di negaranya sendiri. Di Amerika saja waktu saya tinggal disana, ada Tibetan Buddhism event yang digelar di kota Oshkosh, Wisconsin. Sejumlah delegasi biksu dari Tibet datang untuk memperkenalkan dan mengajarkan Buddhism ke warga sekitar. Saya sih gak sempat datang karena waktu itu lagi traveling ke New York, cuma denger beritanya. Ada juga kursus Buddhism di kota Appleton, Wisconsin bagi yang berminat. Selain itu, Buddhism di negara-negara Barat juga berkembang dengan didirikannya mindfulness dan Buddhism center, salah satunya Plum Village di Prancis, oleh seorang biksu Buddha Vietnam yang terkenal, Thich Nhat Hanh.

Saya sendiri sempat tertarik sejak kelas 5 SD tapi dengan alasan yang berbeda dengan orang Barat. Selanjutnya..

Sumber : The Island Girl Adventures

To travel with the island girl, please click here

Leave a Reply

Your email address will not be published.