MANFAAT SARJANA

MANFAAT SARJANA

 

“Apakah gelar dapat mewakili kualitas dari individu yang menyandangkan? Apakah embel-embel ‘sarjana’ memang begitu signifikan dalam memengaruhi nama baik seseorang?’’

-Ahmad Rifa’I Rif’an-

 

Masyarakat Indonesia saat ini mengaitkan ijazah perkuliahan dengan pekerjaan. Alhasil anak-anak menyimpulkan kalo seandainya tidak sekolah tinggi-tinggi susah buat nyari kerja. Begitulah cara kita menyimpulkan ijazah menjadi berhala yang disakralkan dan diburu banyak orang. Tidak hanya dalam dunia kerja melulu tentunya. Hampir semua ceruk kehidupan tentunya selalu bersentuhan dengan selembar kertas sakti itu.

Maka tak heran, ketika awal kurikulum baru dimulai, ritual tahunan perburuan ijazah pun digelar. Berbagai lembaga pendidikan formal maupun informal diseleksi sedemikian rupa oleh para orang tua. Kemudian dipilih mana yang memungkinkan memberikan kontribusi dan tidak sama sekali.

Hal-hal tersebut kerap membuat para pejabat yang anak mereka kurang pintar untuk menyogok pihak sekolah hanya agar anaknya diterima dan lulus sebagai seorang sarjana. Sementara anak-anak dari kalangan tak mampu tidak sedikit yang harus tersingkir karena tak memiliki posisi tawar. Ijazah sudah menjadi ajang korupsi bagi pihak sekolah yang telah menjadi andil yang cukup besar terhadap berkembangnya ketidakadilan akses pendidikan. Kita bisa belajar dari Bima seorang pemuda asal Lampung yang pernah viral baru-baru ini karena menyuarakan isi hatinya selama tinggal dikota yang penuh dengan ketidakadilan. Semua orang setuju bahwa Bima adalah seorang pemuda yang cerdas. Namun dari ceritanya dia tersingkirkan untuk mendapatkan pendidikan yang disukainya di Indonesia karena tidak bisa bersaing dengan pemuda lainnya yang menggunakan jalur orang dalam ataupun sogokan. Akhirnya dia memilih mendaftarkan dirinya ke universitas luas negeri yang menurut ceritanya dia diterima di empat perguruan tinggi.

Dari Bima kita belajar berapa juta anak-anak cerdas yang tersingkirkan oleh negeri ini. Di luar sana ada anak-anak yang mungkin tidak seberuntung Bima yang kuliah di luar negeri karena masalah finasial dan terbentrok akan biaya pendidikan.

Sahabat yotters, apasih manfaat sarjana yang kalian tahu? Apakah sebagai penghias undangan pernikahan kalian? Apakah sebagai tolak ukur kepintaran kalian? Apakah sebagai ajang gengsi saat nama kalian dipanggil kedepan. Apakah akan kalian bawa juga saat meninggal dan tertulis di batu nisan? Sekarang gelar sarjana mungkin masih terbilang kecil dan kadang masih sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Bahkan untuk menjadi pelayan di rumah makan pinggiran kerap kali kita mendapatkan syarat minimal harus S1. Bayangkan kita menghabiskan 4 tahun belajar kita untuk menjadi seorang pelayan biasa. Ya memang rezeki tidak ada yang tau namun bila mengingat hal tersebut tentu lebih baik kita menggunakan uang biaya kuliah yang ratusan juta tersebut untuk membangun usaha dan kita pasti menjadi bos diusaha kita sendiri.

Bukan berarti kita semua tidak boleh berkuliah dan mengejar gelar sarjana ya yotters! Gelar bagi sebagian masyarakat masih dianggap sebagai indikator kehormatan seseorang. Semakin panjang gelar seseorang semakin dihormati oleh orang lain. Selanjutnya apakah orang yang memiliki gelar yang bejibun seperti Prof. Dr. Ir. H. Fulan PhD., MA, Mpd, MBA, MM, HC adalah orang dapat kita sebut sebagai maha guru yang tau segalanya? Tentu saja tidak, saat ini sulit menentukan kualitas diri orang lain dari sederet gelarnya. Karena menempelkan deret gelar pada nama kita sudah sedemikian mudahnya.

Oleh sebab itu penting untuk mengetahui bagaimana membangun kualitas diri dengan berusaha jujur tanpa menggunakan cara kotor meraih sesuatu. Lebih baik menjadi seorang motivator sukses yang tidak mempunyai gelar dibandingkan motivator abal-abal dengan sederet gelar yang diperoleh dengan cara yang tidak adil.