Peran Konsep Tri Hita Karana dalam Membangun Ekosistem yang Makmur & Ramah Lingkungan di Bali

Bali merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang terkenal dengan pariwisatanya. Selain objek wisata, yang menjadi daya tarik tersendiri adalah budaya maupun falsafah hidup “Orang Bali” yang dikenal dengan sebutan Tri Hita Karana (3 Penyebab Kebahagiaan), yaitu Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam Lingkungan, dan Manusia dengan Sesama. Konsep ini telah diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi sebagai salah satu warisan budaya Bali. Oleh Tri Hita Karana, kita diajak untuk menciptakan keseimbangan dengan apa yang ada di sekitar kita. Apabila sudah selaras, hidup manusia akan terhindar dari segala sesuatu yang buruk.

Dalam konteks penerapannya di kehidupan sehari-hari, falsafah ini dapat diterapkan di berbagai aspek kehidupan; mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Yang ingin saya bahas kali ini adalah penerapannya dalam aspek Ekonomi dengan konteks Lingkungan.

Bali sebagai destinasi wisata tentunya sudah terkenal hingga ke penjuru dunia. Hal ini menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung utama bagi sebagian besar masyarakat Bali. Selain mendatangkan devisa yang dapat digunakan untuk Pembangunan, hal ini juga mendorong masyarakat Bali untuk berwawasan internasional & terhubung ke dunia luar dengan mempelajari bahasa & budaya baru.

Namun perlu disadari bersama bahwa hal ini juga memberikan pengaruh buruk bagi Provinsi
Bali. Seiring bertambahnya daerah wisata & layanan perhotelan lainnya, jumlah sampah yang diproduksi pun meningkat. Tingginya kegiatan konsumsi masyarakat juga menambah jumlah sampah yang dihasilkan.

Tak pelak, Bali berada di urutan ke-8 sebagai provinsi penghasil sampah terbesar di Indonesia pada tahun 2021, dengan jumlah timbulan ton mencapai 915,5 ribu ton. Kota Denpasar menghasilkan kurang lebih ⅓ dari angka tersebut, yaitu 349,5 ribu ton. Bila dilihat lebih jelas lagi, sampah yang dihasilkan ini 40,58%-nya berasal dari kegiatan rumah tangga, dan aktivitas perniagaan dengan total 18,22%. Sungai Watch, salah satu komunitas lingkungan yang ada di Bali melaporkan, ada 5 perusahaan besar yang menjadi pencemar sampah terbesar yang didominasi oleh 89% plastik, dalam laporan Impact Report October 2020-December 2021-nya. Per tahun 2021, sampah sisa makanan mencapai 11,84%. Data-data ini dilansir dari situs databoks.katadata.co.id/. Sebagai tambahan, volume sampah di Bali mencapai 4.900 ton per hari.

Alih-alih menganggap hal ini sebagai beban dari aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, hal ini dapat kita lihat dari sisi positifnya. Kita bisa menggunakan sisa-sisa produksi ini sebagai salah satu usaha menggiatkan ekonomi sirkular. Jika diolah dengan baik, sampah-sampah ini dapat kita manfaatkan agar memiliki nilai jual, menciptakan lapangan kerja, bahkan mengurangi limbah konsumsi. Ternyata dengan sedikit kreatifitas kita bisa mengurangi sampah bahkan mendapatkan pemasukan!

Salah satu kerajinan tangan yang bisa kita buat dari sampah plastik adalah tas gendong atau tas keranjang. Tas ini dapat kita buat dengan memanfaatkan sampah dari sachet shampoo, kopi, dan lain-lain. Apabila memiliki sampah sachet yang identik, dapat menambah nilai estetika dari tas plastik yang kita buat.

Bali sebagai provinsi yang mayoritasnya adalah umat Hindu memiliki sistem pemerintahan yang unik. Di tingkat desa, Bali memiliki wilayah administratif yang disebut dengan Banjar, yang bisa disamakan dengan Rukun Warga (RW) di provinsi Indonesia lainnya. Di Banjar, masyarakat lokal biasa berkumpul untuk bercerita, bermain, menari bahkan berdiskusi & melakukan upacara keagamaan.

Menariknya, Banjar ini bisa kita manfaatkan sebagai wadah untuk menanamkan konsep peduli lingkungan kepada masyarakat Bali. Kita bisa berkumpul untuk membahas mengenai sampah yang dihasilkan oleh penduduk sekitar yang berpotensi memiliki nilai jual. Kita bisa mengajak semeton (saudara) Bali untuk mengumpulkan bungkus makanan hasil konsumsi sehari-hari agar bisa dimanfaatkan atau dibuat menjadi sesuatu yang bernilai produktif, tidak harus berupa tas, tapi sekiranya barang-barang yang memiliki nilai praktis & dibutuhkan sehari-hari. Apabila tidak ingin diolah, sampah ini bisa dikumpulkan di bank sampah milik Banjar.

Dengan menerapkan ide ini, kita sebagai masyarakat Bali telah berhasil menjalankan konsep Tri Hita Karana yang telah diajarkan turun-temurun dari leluhur kita, karena berhasil menjaga keharmonisan dengan sesama dan lingkungan kita. Semoga kedepannya Bali sebagai destinasi wisata mampu dikenal juga sebagai daerah yang mampu mengolah sampah sehingga mampu menaikkan nilai ekonomi masyarakatnya. Astungkara.

Leave a Reply

Your email address will not be published.